Semua bahasa di dunia sepakat menerjemahkan
kedua lafal bahasa arab ini sebagai "Tuhan/God" atau yang semakna
dengan itu. Memang ada juga yang menerjemahkan lafal Rabb sebagai
"Tuan/Lord" tetapi itu juga tidak memberikan perbedaan makna.
Ternyata dalam Al Quran kedua lafal ini mempunyai implikasi spritual yang
berbeda bagi pendengar atau pembacanya yang mengerti bahasa arab. Jika kita
hanya mengandalkan terjemahan dan mengabaikan teks asli dalam bahasa arab,
untuk dapat memahami Al Quran, maka kita tidak dapat menemukan atau merasakan
perbedaan tersebut. Dengan demikian pemahaman tentang aqidah agama Islam akan
terbatas kepada hal yang sudah diarahkan oleh terjemahan.
Sebelum membahas perbedaan kedua lafal ini,
mari kita cermati tentang Tuhan. Baik ateis maupun beragama, mengakui
terjadinya alam semesta, walaupun dengan manifestasi yang berbeda-beda. Di sini
tidak akan membahas tentang itu. Bagi yang beragama, alam semesta ini tidak
terjadi dengan sendirinya, melainkan ada yang berinisiatif menciptakan, yaitu
yang secara umum dikenal sebagai Tuhan. Yang membedakan antara golongan manusia
yang satu dengan golongan manusia yang lain adalah bagaimana mendefinisikannya
dan cara penyembahannya.
Setiap bangsa atau bahasa mempunyai penamaan yang
berbeda-beda bagi Tuhan. Penamaan Tuhan ini sangat penting sebagaimana penamaan
bagi seorang manusia sehingga dapat dibedakan antara individu dengan dengan
perannya. Bangsa yahudi mengenalnya dengan nama Yahweh atau Elohim. Akan tetapi
orang hindu, misalnya, agak berbeda dengan menyebut Tuhan sebagai Sang Hyang
Widhi Wasa karena hal itu adalah perannya bukan nama asli. Dalam lidah arab
nama untuk Tuhan adalah Allah (ٱللّه). Suatu nama yang disandangkan kepada
satu-satunya yang tertinggi dan yang menciptakan, memiliki, menguasai, mengatur
alam semesta. Konsep ini sudah diakui sejak manusia pertama, baik kafir maupun
beriman. Perhatikan, apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir Makkah dalam QS
8:32 (Al Quran surat Al Anfâl [rampasan perang] ayat 32):
وَإِذْ
قَالُوا۟ ٱللَّهُمَّ إِن كَانَ هَـٰذَا هُوَ ٱلْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ
عَلَيْنَا حِجَارَةًۭ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ أَوِ ٱئْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍۢ [٨:٣٢]
Terjemahan bebas: Dan (ingatlah) ketika mereka
berkata: “Wahai Allah, jika hal ini benar dari Engkau, maka hujanilah atas kami
batu-batu dari langit atau datangkanlah siksaan yang pedih.”
Dalam Al Quran banyak perkataan orang-orang
kafir yang keluar dari mulut mereka menyebutkan kata Allah. Mereka mengakui
keberadaan Tuhan yang tertentu yang berbeda dengan yang lain. Nabi-nabi
bukanlah mengabarkan tentang adanya Tuhan, melainkan agar manusia
mendefinisikan dan menyembahNya dengan cara yang benar.
Mari kita kembali perhatikan dua lafal dengan cermat
dalam redaksi Al Quran, ternyata kedua lafal tersebut tidak dapat disamakan. Kalimah
tauhid yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: "Tiada tuhan selain
Allah" hanyalah terjemahan dari kalimat: “lâ ilâha illallâh” (لا إلـٰه إلا
اللّه). Tidak
ditemukan lafal lain dalam Al
Quran dan Sunnah. Sebagaimana disebutkan di atas, kata tuhan juga
terjemahan dari lafal Rabb (ربّ). Tetapi mengapa tidak ada
kalimat: “lâ rabba illallâh” (لا ربّ إلا اللّه)?
Perhatikan ayat-ayat berikut ini: QS 1:2, QS 13:16, QS 41:30, QS 2:147, QS 12:42,
QS 9:129, QS 55:17, QS 2:21 dan QS 2:37. Lafal Rabb dihubungkan dengan
berbagai objek seperti alam, langit, bumi, 'arsy, timur, barat, kami, kamu dst.
Sebagai tambahan, perhatikan ayat-ayat QS 2:37 dan QS 12:42, lafalnya sama: Rabb.
Meskipun demikian, maksudnya jelas berbeda. Pada QS 2:37 yang dimaksud adalah
Allah sedangkan pada QS 12:42 yang dimaksud adalah Fir'aun. Artinya Al Quran
mengakui kedudukannya sebagai sebagai rabb, namun tidak ada lafal ilâh
baginya.
Sekarang perhatikan ayat-ayat QS 16:22, QS 25:43,
QS 2:133 dan QS 114:3. Lafal ilâh
tidak pernah disematkan kepada hal lain, kecuali hanya bagi Allah semata dan
hubungannya juga hanya dengan manusia saja. Mengapa lafal ini tidak dihubungkan
dengan jin? Padahal juga makhluk berakal yang diperintah untuk menaati aturan
sebagaimana yang ditetapkan bagi manusia. Bahkan makhluk lain juga selalu
bertasbih yaitu malaikat. Hal ini dikarenakan perintah ibadah diturunkan kepada
manusia sebagai makhluk termulia. Dengan demikian manusialah yang paling
bertanggungjawab untuk menerima Al Quran dan manusia pula yang mendapat amanah
khilafah di bumi.
Lebih jauh lagi implikasi dari lafal Rabb
yang sering diasosiasikan dengan semua ciptaanNya, maka dapat difahami bahwa
penggunaan lafal ini dalam AlQuran adalah untuk menanam keyakinan akan hakikat
karuniaNya yang maha luas tak terbatas sehingga mendorong kita untuk sering
berkomunikasi spiritual dengan baik dan benar. Allah yang mengatur alam semesta
dengan sangat rapih dan teratur untuk kepentingan semua makhlukNya yang patut
disyukuri setiap saat. Maka dengan demikian ibadah akan mengantar kita meraih
kenikmatan di dunia dan akhirat. Dengan mengingat Allah sebagai Rabb,
maka akan meningkatkan rasa pengharapan “raja’” (رجأ) padaNya. Karena
pengertiannya yang luas, maka kata ini tidak dapat diterjemahkan dengan kata
Tuhan sehingga tidak dapat dibedakan dengan peran Allah yang lain. Demikian
juga tidak dapat diterjemahkan dengan satu makna saja dan meninggalkan
makna-makna yang lain, yaitu: tuan, pencipta, pemberi rezeki, pendidik,
pengatur, penyempurna dll.
Sedangkan implikasi dari lafal Ilâh
adalah untuk menekankan hakikat kekuasanNya yang tak terbatas sehingga
melahirkan kewajiban atas manusia untuk berkomunikasi spiritual dengan ibadah
yang khusyu' disertai rasa takut dan mengagungkanNya. Dengan mengingat Allah
sebagai Ilâh, maka akan rasa takut “khawf” (خوف)
padaNya. Kata ini tidak dapat diterjemahkan dengan kata Tuhan sehingga tidak
dapat dibedakan dengan peran Allah yang lain. Demikian juga tidak dapat
diterjemahkan dengan satu makna saja dan meninggalkan makna-makna yang lain,
yaitu: yang patut disembah, yang patut disyukuri atas nikmat yang diberikan,
yang patut dipuji, yang patut ditakuti dll.
Perbedaan konsep kedua lafal ini sudah
dimengerti oleh masyarakat arab pada masa Al Quran diturunkan. Keduanya ini
sangat penting untuk dapat dimengerti dan dijaga dengan seimbang sehingga kita
dapat beribadah dengan nikmat dan khusyu'. Konsep yang menerangkan peran Allah
sebagai Rabb disebut tauhid rububiyyah dan konsep yang
menerangkan peran Allah sebagai Ilâh disebut tauhid uluhiyyah.
Penekanan terhadap salah satu kedua konsep ini sangat mewarnai perjalanan
ibadah umat islam, sebagaimana contoh ekstrimnya adalah golongan mu'tazilah dan
golongan jabariyyah. Hal ini perlu
diketahui tetapi bukan cakupan pembahasan ini.
Bagaimana kita dapat menangkap pesan Al Quran
seutuhnya? Tidak ada jalan pintas, selain menguasai bahasa arab. Sekiranya tidak ditemukan terjemahan yang tepat untuk keduanya, maka lebih baik
menggunakan transliterasi ke dalam huruf latin untuk bacaannya. Untuk
selanjutnya kedua lafal ini tidak diterjemahkan sebagai Tuhan melainkan,
menggunakan Rabb dan Ilâh agar dapat dibedakan makna dan tujuannya.
No comments:
Post a Comment